- Reportase Bangka
- May 15, 2020
- 192
- 3 minutes read
​Demi Perekonomian Babel, Aturan Pertambahangan Harus di Revisi
Pangkalpinang – Untuk menyelamatkan perekonomian Provinsi Bangka Belitung (Babel) yang kian hari kian terpuruk, tentunya harus ada Rekontruksi dan Revisi terhadap aturan pertambangan, khususnya timah.
Direktur Pusat Studi Hukum Tata Negara Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Syafri Hariansah mengatakan salah satu dasar pembentukan Undang-Undang adalah filosofi, kemudian bagaimana sebuah produk Undang-undang dibuat untuk kemaslahatan bersama dan kepentingan umum.
Dalam kontek ini, menurutnya saat ini semua masih dalam konsidi Pandemi Covid-19, bukan paska Covid-19.‎
“Sekarang perekonomian kita mersosot luar biasa, kita terendah se-Sumatera, sektor tambang triwulan pertama -7,59 persen artinya sektor tambang berimbas sangat besar saat Covid,” kata Syafri kepada Reportase Bangka, Kamis (14/5/2020).
Ia menyebutkan aturan pusat mengenai Minerba dan peraturan menteri tentang RKAB, merupakan persoalan serius yang harus dibahas, untuk itu perlu didorong bagaimana kemudian dengan adanya kelongaran dari sisi aturan dapat menopang perekonomian babel.
“Kita masih situasi pandemi covid-19, bukan paska, statemen gubernur Babel Erzaldi Rosman yang menyatakan, kalau sampai 3 bulan kedepan jika pandemi tidak redah, ekonomi Babel akan terjun bebas,” ujarnya.
Untuk menyelamatkan agar perkomomian Babel tidak terjun bebas dalam tiga bulan kedepan, makanya ‎harus ada rekontruksi dan revisi terhadap aturan pertambangan tersebut.
“Saya bukan orang pro tambang, ekonomi masyarakat Babel harus diselamatkan dulu, ada ratusan ribu masyarakat kita bergantung di tambang timah,” tegasnya.
Ia mengaku, secara teori, peraturan menteri ESDM ,disampaikan kepemerintah pusat dalam hal ini Presiden, tidak ada yang tidak mungkin berubah.
“aturan Minerba ini, universal, berlaku secara umum luas, permennya termaksut semua minerba batu bara dan lainya, apakah sama kondisi pertambangan timah di Babel, kan tidak makanya ‎harus ada upaya menyamakan persepsi antara pusat dan daerah dalam kontek mengatur hulu dan hilir pertimahan di Babel,” ungkap dia.
“Saya rasa ada solusi untuk kemudian, membuat kelonggaran dari sisi aturan, UU saja bisa di-Judicial Review bertentangan dengan UU 1945, kalau kami perspektif hukum tatanegara bukan tidak mungkin karena ada hak dasar pasal 28 itu, hak masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang layak, harus dibuat kelonggaran dari segi aturan ESDM itu,” tegasnya.
Diutarakanya, yang tahu kondisi di lapangan adalah pemerintah daerah, untuk itu harus ada stimulan dari masyarakat dulu, baru provinsi buat formula, kemudian di serahkan ke pusat atas kondisi ril yang terjadi dilapangan.
(ril/ril)