Pangkalpinang – Rektor Universitas Bangka Belitung (UBB), Dr. Ibrahim tak menampik jika Bangka Belitung (Babel) terkhusus masyarakatnya memang masih tergantung dengan hasil timah. Hal itu pun terlihat ketika sektor pertimahan ini surut, pertumbuhan ekonomi pun melemah.
“Kita tidak bisa mengindahkan fakta itu, bahwa kondisi ketergantungan Babel terhadap timah memang sangat tinggi dan itu sejak berabad-abad lalu. Ini disadari secara faktual di lapangan secara historis dan ekonomisnya. Jadi ketergantungan finasial masyarakat berasal dari timah itu tidak bisa dihindari,” kata Ibrahim melalui keterangan tertulis yang diterima Reportase Bangka, Kamis (14/5/2020).
Berkenaan dengan kondisi ini, dirinya bersama tim akademisi pun sudah melakukan riset perihal ketergantungan masyarakat Babel terhadap timah.
“Ketergantungan ini sudah berjalan sedemikian rupa. Kalau kita tanyakan ke para penjual di pasar, 80 persen responder menyatakan bahwa naik turunnya harga timah sangat mempengaruhi harga dan kemampuan beli masyarakat,” ungkapnya.
Bahkan disebutkan Ibrahim, ketergantungan terhadap timah ini sulit dilepas sejak tahun 1998 yang silam ketika timah inkonvensional dibuka, yang terus mengalami peningkatan.
“Data BPS menunjukan bahwa angka ketergantungan terhadap penambangan itu menyentuh diangka nomor dua disamping perkebunan dan pertanian. Dengan kondisi seperti ini, sudah sangat jelqe bahwa ketergantungan terhadap timah itu sangat tinggi,” tukasnya.
Kendati demikian, menurut dia, usaha pemerintah untuk keluar dari ketergantungan terhadap timah ini juga sudah dilakukan secara optimal, namun hal itu tidak bisa diterapkan secara instant. Sebab mengubah kultur masyarakat itu butuh proses yang panjang. Belum lagi perdebatannya.
“Komitmen pemerintah untuk masuk ke dalam konteks yang kita sebut perlahan-lahan meningalkan penambangan itu sudah dilakukan. Tetapi ini tidak serta merta dilakukan seperti memotong mata rantai begitu saja. Ada proses transisis yang harus kita pahami secara arif,” ungkapnya.
Pihaknya pun mendorong agar proses transisi ini dapat dipahami secara arif dan bijaksana, kemudian mengekstraksinya untuk kepentingan masyarakat dan menjaga kestabilan ekonomi. Bukan hanya sekedar bagaimana menolak industri timah dan menerima hal yang baru.
“Saya kira persoalan ini yang harus dibaca, butuh kebijaksaan dan kearifan kita bersama, dimana kita telah mengambil suatu pilihan yang dilengkapi dengan resiko-resiko yang akan muncul. Namun perlahan pemerintah harus menyiapkan sektor ekonomi alternatif yang lain, dengan kata lain pemerintah harus turun ke bawah,” tutupnya.
(ril/ril)